Perusahaan
Pertambangan Batubara Milik PT. Pasir Walannae Langgar UU NO.4 Tahun 2009
Tentang Minerba dan Tidak Mematuhi SK Dirjen Minerba
Tentang SOP CNC
Bone, Jejakkasus.com.- Seiring terbitnya UU
Minerba Nomor 4 Tahun 2009, Pemerintah Pusat diberi amanat dan wewenang untuk
menata kembali perizinan di sektor pertambangan. Istilah KP pun diganti oleh UU
Minerba menjadi IUP (Izin Usaha Pertambangan). Atas dasar wewenang itu,
Pemerintah Pusat melalui Dirjen Minerba Kementerian ESDM kemudian menggelar
program penataan, lewat rekonsiliasi dan pemutahiran data IUP yang telah
diterbitkan Pemerintah Daerah. Bagi IUP yang sudah memenuhi persyaratan sesuai
peraturan perundang-undangan dan tidak tumpang tindih, diberikan status “Clear and Clean” (CNC). Bagi perusahaan yang
belum memiliki disebut IUP Non CNC.
Direktur Jenderal
(Dirjen) Minerba pun menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 1406/30/DJB/2012
tanggal 30 April 2012 tentang “Standard
Operating Procedure (SOP) Pemrosesan sertifikat Clear and Clean”. Dari 10.596 IUP yang
terjaring rekonsiliasi nasional, sebanyak 4.833 IUP sudah berstatus CNC dan
sisanya 5.763 IUP berstatus “Non CNC” atau masih dikategorikan bermasalah.
Dari 5.763 IUP yang
dijaring Dirjen Minerba Kementrian ESDM, PT.Pasir Walannae (PW) yang melakukan
kegitan penambangan di wilayah Kab. Bone Provinsi Sulawesi Selatan
tepatnya di Dusun Mari-Mario Desa
Massenreng Pulu Kecamatan Lamuru, diduga masuk dalam daftar
perusahaan tambang Non CNC alias bermasalah. Dugaan ini dikuatkan adanya
keterangan Junaedy Jufri selaku Asisten Direktur PT. PW yang ditemui di
kantornya 23 Februari lalu, beliau mengakui kalau perusahaan milik Bomang
Sanusi Itu hingga kini memang belum mengantongi sertifikat Clear and
Clean.
PT. PW sebagai
perusahaan yang melakukan kegiatan pertambangan di desa Massenreng Pulu ini
dalam melakukkan produksi batubara tidak mematuhi standart operasi produksi dan
tidak memperhatikan keselamatan kerja karyawan, pasalnya dalam mempekerjakan
karyawan tidak dilengkapi safety. Dinilai banyak kalangan, ketedeloran ini
sangat membahayakan keselamatan para karyawan, ironisnya lagi kondisi ini
terjadi sejak beberapa tahun lalu, bahkan disinyalir sudah kurang lebih 8 tahun
melakukan kegiatan eksploitasi, sesuai keterangan masyarakat setempat dan eks
karyawannya.
Saat dikonfirmasi
pihak perusahaan tentang kondisi ini, perusahaan beralasan kalau pihaknya
sementara dalam pengurusan kelengkapan safety. Selain masalah kelalaian safety,
PT.PW tidak melakukan kewajiban untuk melaksanakan reklamasi eks penambangan
sesuai amanat dari Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara (UU Minerba) dan dikeluarkannya beberapa PP dan
RPP Reklamasi dan Pasca tambang.
Sesuai bunyi Pasal 99
dan pasal 100 UU Minerba yang mengamanatkan setiap pemegang IUP dan IUPK wajib
menyerahkan rencana reklamasi, rencana pasca tambang, dan melaksanakan
reklamasi & pasca tambang. Pasal ini merupakan sebagian kutipan yang
menjelaskan bahwa pembangunan pertambangan merupakan pembangunan yang
berwawasan lingkungan.
Dalam kurun waktu
beberapa tahun melakukan eksploitasi batubara, PT.PW belum maksimal melakukan
reklamasi, dari keterangan warga yang pernah terlibat dalam kegiatan
pertambangan ini menjelaskan bahwa contoh lokasi eks penambang Join Operasi
(JO) PT.Pasir Walannae adalah milik HR sebanyak 5 titik dan SKR hingga
kini belum dilakukan kegiatan reklamasi.
Tanggungjawab
reklamasi ini diserahkan ke pihak PT.PW sebagai pemilik IUP sesuai perjanjian
pihak JO dengan perusahan pemilik IUP karena biaya reklamasi sebesar Rp. 80
Juta per titik sudah diserahkan di awal sebelum Joint Operasi melakukan
kegiatan produksi.
Tim Jejakkasus.com
meminta Kementerian ESDM untuk turun meninjau langsung kegiatan penambangan
PT.PW sebelum menimbulkan kerusakan lebih luas. Dari informasi yang dihimpun
tim, kegiatan ini sudah cukup lama meresahkan masysrakat setempat namun mereka
tidak tahu hendak melapor ke mana.
Dinas Pertambangan
Provinsi Sulsel lalaikan tugas dan kewenangan karena seharusnya kondisi ini
mereka ketahui, terlebih lagi Dinas Pertambangan Kabupaten Bone yang sudah
beberapa kali melakukan sidak, namun hingga kini tidak ada hasil yang berarti,
diduga kuat mereka menerima upeti dari pihak penambang. Dari sumber lain, Bahan
Bakar Minyak yang digunakan adalah kebanyakan BBM bersubsidi, pemasoknya
diduga pula bekerjasama dengan oknum penegak hukum di wilayah tersebut. (Tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar